Oleh: yudopotter | November 22, 2009

Konsepsi Wawasan Nusantara dan Deklarasi Djuanda 1957


Sebelum tahun 1957 sesuai dengan “ Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonatie tahun 1939”, lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis air rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia (Djalal, H., 1979).
Menjelang tahun 1957 ketentuan ini terasa sangat tidak memadai lagi untuk memelihara kebutuhan-kebutuhan vital Indonesia, baik di bidang politik, ekonomi maupun Hankamnas. Satu-satunya jalan yang paling tepat untuk menjamin kepentingan Indonesia tersebut adalah melalui jalan garis-garis dasar, yaitu melalui “konsepsi archipelago” atau “Wawasan Nusantara”.
Melalui konsepsi Nusantara ini, maka pelaksanaan soverenitas Indonesia ke laut dapat dibatasi kepada perairan-perairan Nusantara saja, bilamana perlu untuk dapat menjamin kebutuhan-kebutuhan terhadap usaha-usaha penyatuan bangsa, pemeliharaan kestabilan dan keamanan, serta pemeliharaan kekayaan-kekayaan alam di perairan Indonesia tersebut. Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan (deklarasi) mengenai wilayah Perairan Indonesia, sebagai berikut: “Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-Undang”(Kusumaatmadja, M., 1999). Pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia, adalah:
1. Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan pengaturan sendiri;
2. Bahwa bagi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Republik Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat;
3. Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari pemerintah kolonial sebagaimana termaktub dalam “Teritoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939” pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia;
4. Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya. Pernyataan ini dikeluarkan Pemerintah Indonesia disaat sedang menghadapi bahaya dari luar maupun dari dalam (sengketa Irian Barat dengan Belanda dan pemberontakan dalam negeri). Sehingga tahun 1956 dibentuk panitia Interdepartemental untuk meninjau kembali masalah laut teritorial dan lingkungan maritim.
Dimana ditetapkan doktrin wawasan nusantara memiliki tiga landasan (Pandoyo, S.T., 1994), sebagai berikut:
1. Landasan Ideal: Pancasila (terutama sila Persatuan Indonesia).
2. Landasan Konstitusional : Undang-Undang Dasar 1945 (alinea IV Pembukaan UUD 1945, yis. Pasal 1 ayat (1) dan pasal 33 ayat (3) UUD 1945).
3. Landasan Operasional: Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 (sejak dari Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 masing-masing tentang GBHN).
Pengumuman Pemerintah (13 Desember 1957) tersebut akan dipertahankan dalam Konferensi Internasional mengenai hak-hak atas lautan yang diselenggarakan pada bulan Februari 1998 di Jenewa.


Tinggalkan komentar

Kategori